Media contributions
1Media contributions
Title VASTENBURG BUTUH INTERVENSI KEBUDAYAAN Degree of recognition National Media name/outlet Solopos Media type Print Duration/Length/Size 926/ 1 page Country/Territory Indonesia Date 8/11/08 Description Ranggawarsita (1802-1873), penulis kerajaan kasunanan Surakarta masa Pakubuwono VII secara jelas mengatakan “Yen wis kliwat separo abad, jwa kongsi binabad “, kalau bangunan telah berumur lebih dari separuh abad, janganlah di hancurkan. Pendapat Sastrawan Jawa itu ternyata tidaklah kalah dengan para ilmuwan masa kini, dan sangatlah masuk akal, sebab dalam bidang studi ekonomi kebudayaan diabad ini, cagar budaya memiliki posisi yang sangat penting. Benhamou (2003) seorang pakar ekonomi kebudayaan bidang heritage mengatakan bahwa keberadaan bangunan cagar budaya memiliki tempat khusus kaitannya dengan demand international terkait dengan dunia turisme. Secara jelas beliau mengatakan jika bangunan bersejarah diubah atau dihancurkan, maka tak akan bisa di ciptakan kembali atau dilestarikan seperti bentuk aslinya. Dalam cara pandang ini bila diolah dengan tepat heritage sangatlah terkait dengan potensi nilai ekonomi. Maka keyakinan bahwa hubungan sejarah , arsitektur dan kota yang dipelihara dengan baik akan mampu menjadi “magnet kebudayaan” serta mendatangkan berkah bagi penduduk “kota cagar budaya” tidak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, fenomena rencana pembangunan hotel pada kawasan Beteng Vanstenburg sungguh-sungguh mengejutkan. Apalagi jika alasanya untuk menambah fasilitas akomodasi mendukung turisme. Sepertinya ada tahap lompatan dalam rencana tersebut Menganalisa apakah pembangunan hotel di kawasan cagar budaya seperti benteng Vastenburg layak dilakukan saja belum dilakukan?. Dalam dunia arsitektur di eropa banyak muncul konsep-konsep yang mencoba mengakali benda cagar budaya untuk meningkatkan perekonomian kawasan. Sepertinya gerakan Facadisme (Facadism) di Inggris tahun 1970 an, atau pun di Belgia yang masih terjadi hingga sekarang, dimana bangunan kuno wajahnya ditopengkan (dipertahankan wajahnya) sedangkan badan dan interior bangunan diceria beraikan ditambah dengan fungsi bangunan dan struktural baru. Banyak kalangan yang perduli bangunan sejarah menolak praktek ini. Tapi gerakan ini facadisme ini tetap saja yang banyak mempraktekan terutama oleh kalangan post-modernis. Gaya kompromis mempertahankan cagar budaya dengan “Arsitektur Topeng”untuk mendongkrak ekonomi semata ini, sangatlah merugikan dari segi nilai identitas dan kebudayaan Secara utuh. Hal ini menjadi tantangan bagi pemkot, para arsitek, sejarawan, pemodal dan masyarakat luas kota solo untuk menyikapi dengan pendekatan yang lebih berdarah kebudayaan. Sebenarnya langkah alternatif penanganan dalam dunia arsitektur dan kawasan, sangatlah luas dan bervariasi yang sebenarnya tak lepas dari penanganan benda bersejarah termasuk mind set manusia-manusia yang berada disekitanya (penduduk kota itu), cara hidup mereka (life style) kebiasaan dan kebudayaan termasuk kepercayaan dari jaman dahulu hingga saat ini telah ada dan kepedulian akan pemahaman akar kebudayaan. Niscaya ini akan menghasilkan formula ekonomi kebudayaan yang tidak merusak maupun membuka kesempatan penelantar cagar budaya untuk dimanfaatkan secara oportunis (take over). Dari cara pandang preservasi, strategi penanganan bisa dilakukan dengan modifikasi atau memperluas garis area kawasan budaya, memberi vocal point ataupun mengabungkan komponen potensial kawasan budaya. Pembangunan hotel bisa dilakukan di kawasan radius tertentu yang diangkat menjadi area budaya, tetapi haruslah dilakukan tanpa merusak bangunan cagar budaya disekitar yang ada. Sebenarnya jelas sekali bahwa pendekatan kebudayaan (cultural intervention) lebih mampu memberi ruang pada kemungkinan baru untuk tetap mewujudkan keaslian identitas (authenticity) dan nilai (value) suatu cagar budaya, dan bukanlah melulu dengan fisik bangunan semata. Kondisi kawasan budaya yang lama diterlantarkan memang membutuhkan strategi penanganan khusus karena kerusakan materiil dan non materiil dirasa cukup besar semakin lama akan semakin parah. Dalam hal ini kasus beteng vastenburg di Solo jelas menjadi contoh penerlantaran cagar budaya oleh pihak pemilik. Pihak pemilik nampaknya sedikit lupa bahwa kepemilikan terhadap tanah bukan berarti memiliki hak untuk mendifinisikan suatu kebudayaan apa lagi kaitanya dengan benda cagar budaya. Sayangnya kita semua tidak tahu, siapa yang bertanggung jawab hingga kawasan cagar budaya bisa jatuh ketangan privat dimana cagar budaya dipaksa berhadapan dengan tekanan ekonomi pasar. Dalam level sebagai peninggalan kebudayaan seharusnya (dahulu, sekarang atau nanti) haruslah diciptakan keseimbangan komunikasi dimana komunitas kebudayaan diajak berembug untuk merumuskan kembali (redefining) arti dan pengunaan dan nilai kebudayaan yang dipertahankan untuk kawasan budaya apalagi bila memang diarahkan ke arah prespektif ekonomi kebudayaan. Cagar budaya Arsitektur secara jelas merupakan jantungnya sebuah kota, dan secara nyata menjadi sejarah berharga sebuah kota. It is memory collective of its people, kata Aldo rossi (1931) seorang arsitek Italia. Wujud modifikasi bisa benda bukti sejarah haruslah dilakukan secara berhati-hati. Sebab pada kenyataannya nilai sejarah (historical value) telah mampu menjadi tulang punggung citra wujud kebudayaan tertentu serta mampu memberi nilai patriotik bagi penduduknya. Maka untuk merombak atau memodifikasi bangunan peninggalan sejarah, sangatlah penting didahului dengan studi atau penelitian tentang kelayakannya dari kaca mata sejarah, sosiologi, kebudayaan dan ekonomi. Jika tidak pemanfaatan sejarah kota yang tak jelas arahnya menjadikan masyarakat resah dan merasa di tinggalkan karena identitas kotanyanya seolah di plesetkan ( baca-dihancurkan). Secara umum peninggalan ini membantu kita mendefinisi tentang sejarah, tradisi dan kualitas yang dimiliki oleh sebuah masyarakat atau bangsa tertentu. Menurut Throsby (1997), definisi heritage bisa mencakup bermacam-macam bentuk modal kebudayaan yang telah mengakar dalam suatu komunitas terkait dengan nilai, sejarah, sosial maupun dimensi kulturalnya. Nilai penting heritage bangunan arsitektur misalnya secara jelas diberbagai negara memegang potensi penting untuk sebuah fungsi kegiatan budaya, bahan penelitian (scientific value), nilai komunikasi sosial, keindahan, maupun nilai komersial terkait. Dengan begitu Benda Cagar budaya haruslah dipandang sebagai mana barang berharga layaknya hasil tambang yang amat berharga yang akan menghasilkan bila kita mengolahnya dengan pendekatan ekonomi yang berakar kebudayaan. Konsep tambang kebudayaan (Cultural Mining) seperti ini selayak lebih dikembangkan, sebab konsep ini sangat tepat untuk Cagar budaya arsitektur dimana fisik bangunan dijaga dengan untuh dengan lebih mengolah sisi intangiable nilai sejarah dan budayanya. Karena bangunan langka cagar budaya arsitektur misalnya, dipercaya mampu mendongkrak kualitas hidup dan generator ekonomi bila kita mengolah fungsi sejarah (historical value), fungsi budaya (symbolic value) , fungsi ekonomi (economical value) secara bijaksana tanpa harus mempraktekan metode-metode mentah dan murahan seperti intervensi dengan pembangun hotel dikawasan budaya. Akhir kata, Bisakah Beteng Vastenburg kembali ke bentuk aslinya?. Producer/Author Bimo Hernowo URL https://www.researchgate.net/publication/220036517_VASTENBURG_BUTUH_INTERVENSI_KEBUDAYAAN Persons Bimo Hernowo
Keywords
- Fort Vastenburg, Surakarta, Heritage, Cagar budaya, Historical Value